Skip to main content

Jumlah Mufidah : Pengertian dan Pembagian Jumlah Mufidah dalam Bahasa Arab

Daftar Isi [ Tampil ]
Jumlah mufidah (جملة المفيدة) adalah sebuah istilah dalam bahasa Arab yang biasa disebut sebagai kalam. Yakni kalimat yang terdiri atas beberapa kata, yang dapat memberikan kepahaman kepada pendengarnya.

Dalam bahasa Indonesia, jumlah mufidah disebut kalimat sempurna, kalimat yang minimal terdiri atas beberapa komponen yang menduduki peranan sebagai Subyek, Predikat, dan Obyek (SPO).

Lebih lanjutnya, berikut kami ulaskan mengenai apa yang dimaksud dengan jumlah mufidah itu ?, dan pembagian jumlah mufidah dalam bahasa Arab.

Pengertian Jumlah Mufidah (جملة المفيدة)

Secara kontekstual, jumlah mufidah terdiri atas 2 kata, yakni jumlah (جملة) dan mufidah (المفيدة). Menurut KBBI jumlah memiliki definisi banyaknya suatu bilangan atau sesuatu yang dihimpun menjadi satu.

Jumlah dalam bahasa Arab memiliki arti kalimat, anak kalimat, beberapa, dan banyak. Sedangkan menurut ulama ahli nahwu, pengertian jumlah adalah sebagai berikut ini.

الجُمْلَةُ هِيَ كُلُّ كَلَامٍ إِشْتَمَلَ عَلَى مُسْنَدٍ وَمُسْنَدٍ اِلَيْهِ

Artinya: "Jumlah adalah setiap ucapan yang memuat atas musnad (yang disandarkan) dan musnad ilaih (yang disandarinya)".

Baca : Perbedaan Kalam dan Jumlah dalam Ilmu Nahwu

Adapun mufid (المفيدة), ditinjau dari segi bahasanya adalah isim fa'il dari fi'il madli أَفَادَ (mengikuti wazan أَفْعَلَ) yang berarti berfaedah atau bermanfaat. Dalam ilmu tata bahasa Arab, mufid secara singkatnya didefinisikan sebagai sesuatu yang memahamkan.

Dari uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pengertian jumlah mufidah (جملة المفيدة) adalah kumpulan kalimah (kata) yang dapat memberikan faedah atau pemahaman yang sempurna bagi mukhattab (lawan bicara). Dalam ilmu nahwu, jumlah mufidah ini disebut juga dengan istilah kalam, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kalimat sempurna.

Untuk menyusun suatu kalimat sehingga menjadi sempurna (جملة المفيدة), tidak asal main saja. Perlu kita ketahui juga, bahwa jumlah mufidah atau kalam atau kalimat sempurna (dalam bahasa Indonesia) itu harus memenuhi beberapa syarat.

Dalam kitab Al-Jurumiah disebutkan kalau sesuatu bisa dikatakan sebagai jumlah mufidah atau kalam, haruslah murakkab (tersusun), mufid (memahamkan), bil wadl'i (berbahasa Arab). Lebih rincinya sebagai berikut ini.

Pertama murakkab (tersusun), sesuatu dapat disebut sebagai jumlah mufidah atau kalam jika ia murakkab (tersusun). Maknanya, terdiri dari 2 kata atau lebih hingga menjadi susunan yang saling bertumpu dan memberi kepahaman bagi lawan bicaranya.

Misalnya : قَامَ زَيْدٌ (Zaid berdiri), terdiri dari susunan fi'il dan fa'il dhohir (terlihat).اُنْصُرْ (menolonglah), dalam ilmu nahwu perkataan اُنْصُرْ disebut sebagai kalam karena telah tersusun dari 2 kata akan tetapi taqdir (tersirat). Karena dibalik pengucapan اُنْصُرْ ada dhomir yang terselinap. Jika ditakdirkan berwujud اَنْتَ (kamu).

Kedua mufid (memahamkan), yakni dapat memahamkan kepada lawan bicaranya sehingga diam (maknanya tidak menanyakan kembali dengan yang dia ucapkan karena telah memahami).

Misalnya : زَيْدٌ قَائِمٌ (Zaid orang yang berdiri).

Berbeda lagi dengan perkataan yang murakkab (tersusun) namun tidak memahamkan. Seperti perkataan إِنْ قَامَ زَيْدٌ (apabila Zaid berdiri...). Meskipun tersusun (المركّب) namun tidak dapat memahamkan. Karena perkataan إِنْ قَامَ زَيْدٌ merupakan kalimah syarat yang diawali dengan huruf syarat إِنْ (apabila) dan tidak memiliki jawab, membuat orang yang mendengar akan menanyakan kembali perkataannya.

Ketiga bil wadl'i (berbahasa Arab), yakni disampaikan dalam bahasa Arab, karena itu perkataan yang tidak memakai bahasa Arab menurut ulama ahli nahwu tidak dapat disebut sebagai jumlah mufidah / kalam.

Dikutip dari maskuns.my.id dalam artikelnya "Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu" mengatakan bahwa ada beberapa ulama ahli nahwu yang mendefinisikan بالوضع dengan kata "sadar". Maknanya, orang yang mengucapkan (متكلّم) harus secara sadar dan sengaja dalam ucapannya dengan tujuan yang jelas. Oleh karena itu, perkataan orang mabuk, orang yang hilang ingatan, orang tidur tidak termasuk kategori kalam.

Sederhananya, bisa dikatakan sebagai jumlah mufidah (kalimat sempurna) apabila ia telah tersusun atas fi'il dan fa'il, fi'il dan naibul fa'il, mubtadak dan khabar, syarat dan jawab, serta dapat memahamkan tentunya.

Sejalan dengan hal tersebut, Imam ibnu Malik berkata dalam kitabnya "Alfiyah ibnu Malik", yaitu:

... كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِم

Dari potongan bait di atas, beliau mendeskripsikan kalam secara singkat dengan cuma menyebutkan dua kata saja, yakni لَفْظٌ dan مُفِيْدٌ, selanjutnya dilengkapi dengan contoh اِسْتَقِم. Karena contoh merupakan salah satu langkah yang sudah diakui oleh banyak ulama' dalam membentuk suatu pengertian. Berangkat dari contoh اِسْتَقِم, kita dapat tarik kesimpulan kalau kalam yaitu lafadz yang murokkab (tersusun), yang dapat memahamkan (mufid) dan disampaikan dalam bahasa Arab (bil-wadh'i). Lebih detilnya lagi, dalam contoh اِسْتَقِم adalah lafadz yang telah tersusun atas fi'il dan fa'il berupa dhomir mustatir, dan telah memahamkan (mufid)  kepada mukhattab (lawan bicara) sehingga diam (paham), dan disampaikan dalam bahasa Arab.

Baca : Pentingnya Mempelajari Ilmu Tata Bahasa Arab

Nah, setelah kita mengetahui dengan apa yang dimaksud jumlah mufidah (kalimat sempurna) dalam bahasa Arab itu. Selanjutnya kita akan mengulas terkait dengan pembagian jumlah mufidah dalam bahasa Arab. Penasaran ? simak terus sampai akhir ya artikel ini.

Pembagian Jumlah Mufidah (جملة المفيدة)

Sebuah kalimat minimal harus tersusun atas dua kata sampai bisa dipahami maksudnya oleh mukhattab (lawan bicara). Ada dua macam kalimat (jumlah) dalam bahasa Arab yang terdiri atas dua kata (kalimah) namun dapat memberi kepahaman yang sempurna, yaitu jumlah fi'liyah dan jumlah ismiyah. 

1. Jumlah Fi'liyah (جملة الفعلية)

Jumlah Fi'liyah (جملة الفعلية) adalah jumlah yang di awali oleh kalimah fi'il, baik itu tampak secara jelas atau dengan dikira-kirakan.

Contoh jumlah fi'liyah dengan di awali kalimah fi'il yang tampak secara jelas:

كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا (Zaid orang yang berdiri)

قُمْ يَازَيْدُ (Wahai Zaid, berdirilah)

قَامَ زَيْدٌ (Zaid berdiri)

Contoh jumlah fi'liyah dengan di awali kalimah fi'il yang dikira-kirakan:

يَا أَحْمَدُ (Wahai Ahmad)

Pada contoh tersebut, terdapat kalimah fi'il yang dikira-kirakan pada awal kalimahnya. Jika ditakdirkan atau ditampakkan, kurang lebihnya adalah ucapan أَدْعُوْ أَحْمَدَ (Aku memanggil Zaid).

2. Jumlah Ismiyah (جملة الإسمية)

Jumlah ismiyah (جملة الإسمية) adalah jumlah yang di awali oleh kalimah isim, baik kalimah isim tersebut tampak dengan jelas atau melalui cara pentakwilan (dibelokkan dari lahirnya).

Contoh jumlah ismiyah dengan di awali oleh kalimah isim yang nampak secara jelas:

زَيْدٌ جَالِسٌ (Zaid orang yang duduk)

أَنَا أَشْتَاقُ إِليْكَ فَكَيْفَ لِيْ أَلَّا أَسْعَدَ بِحُضُوْرِكَ (Aku merindukanmu, bagaimana mungkin aku tidak senang dengan kehadiranmu ?)

Contoh jumlah ismiyah dengan di awali oleh kalimah isim melalui pentakwilan:

وَأَنْ تَصُوْمُ خَيْرٌ لَكُمْ (Dan berpuasa lebih baik bagimu)

Pada contoh di atas, jika ditakwil mashdar kurang lebihnya menjadi صِيَامُكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ.

Catatan: Yang dimaksud dengan "di awali" pada keterangan-keterangan di atas yakni berdasarkan pada susunan aslinya. Sebagai contoh, tarkib atau susunan fi'il, fa'il, dan maf'ul hukum urutan aslinya yaitu fa'il bersanding dengan fi'il, sedangkan maf'ul terpisah dari fi'ilnya.

Contohnya: نَصَرَ زَيْدٌ عَمْرًا (Zaid menolong Amr)

Pada contoh di atas adalah contoh fi'il, fa'il, dan maf'ul yang sesuai dengan hukum asalnya. Akan tetapi, ada kasus lain yang di mana maf'ul terletak di awal kalimah mendahului fi'ilnya. Dalam ilmu Nahwu, hal ini diperbolehkan asal tidak menimbulkan iltibas atau salah paham. Ini hanya gambaran singkatnya saja, lebih detailnya lagi akan kami bahas dalam bab tersendiri.

Contohnya: رَاكِبًا جَاءَ التِّلْمِيْدُ (Murid itu datang dengan berkendara).

Ucapan رَاكِبًا جَاءَ التِّلْمِيْدُ tetap disebut sebagai jumlah fi'liyah bukan jumlah ismiyah, sebab pada hakikatnya lafadz رَاكِبًا itu terletak di urutan akhir kalimah.

Mungkin cukup itu saja penjelasan mengenai pengertian dan pembagian jumlah mufidah dalam bahasa Arab. Jika merasa artikel ini sangat bermanfaat, Anda bisa membagikannya di berbagai banyak media. Sekian dan terima kasih atas kunjungannya.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar