Skip to main content

Perbedaan Kalam dan Jumlah dalam Ilmu Nahwu

Daftar Isi [ Tampil ]
Istilah kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu sudah tidak asing lagi bagi kita. Kedua istilah tersebut akan selalu kita temui dalam mempelajari tata bahasa Arab.

Mungkin dari kita sudah banyak yang mengetahui tentang apa pengertian kalam dan apa yang dimaksud dengan jumlah. Namun, tak sedikit juga dari kita yang mungkin saja belum mengetahui secara pasti mengenai perbedaan kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu. Itulah mengapa Anda memutuskan untuk membaca artikel ini.

Nah, sebelum kita masuk pada pembahasan perbedaan kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu, alangkah baiknya kita juga mengetahui pengertian kalam dan pengertian jumlah terlebih dulu. Jadi, untuk Anda yang mungkin sudah mengetahuinya, boleh langsung menuju inti poin dari artikel ini.

Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu

Dalam ilmu Nahwu, ada banyak sekali istilah-istilah, salah satunya adalah kalam. Dalam bahasa Indonesia, kalam bisa disebut sebagai kalimat, yakni sekumpulan kata yang minimal terdiri dari Subyek (S) dan Predikat (P).

Menurut ulama ahli fikih, kalam didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menjadikan tidak sahnya sholat. Lalu, Apa itu kalam dalam ilmu Nahwu ? Mari kita ulas di sini.

Adapun pengertian kalam dalam ilmu Nahwu adalah lafadz yang tersusun, yang dapat memberi kepahaman kepada lawan bicara serta berbahasa Arab. Pengertian ini sebagaimana yang tertulis dalam matan kitab al Jurumiyah.

الكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ المُرَكَّبُ ا لمُفِيْدُ بِالوَضْعِ

Kalam adalah lafadz yang murakkab, mufid, dan bil wadl'i. Jadi, sesuatu bisa dikatakan sebagai kalam apabila ia memenuhi syarat kalam, yaitu lafadz, murakkab, mufid, dan bil wadl'i.

Lebih sederhananya lagi, kalam adalah lafadz yang telah mengumpulkan fi'il dan fa'il atau nai'bul fa'il, mubtadak dan khabar, syarat dan jawab, serta dapat memahamkan kepada orang yang mendengar.

Contoh kalam:

اَمَّا المَرِيْضُ فَيَصُوْمُ يَوْمًا آخَرَ بَعْدَ شِفَائِهِ (Adapun orang sakit, dapat mengganti puasanya di lain waktu setelah subuh).

Mari kita rinci, contoh tersebut kurang lebihnya sudah menjadi contoh lengkap keterangan di atas. Lafadz اَمَّا adalah huruf syarat yang pasti membutuhkan jawab, apa jawabnya ? yaitu lafadz فَيَصُوْمُ yang sekaligus menjadi khobar dari المَرِيْضُ. Fa'il dari lafadz فَيَصُوْمُ yaitu dhamir yang merujuk pada lafadz المَرِيْضُ.

Baca juga : Unsur Kalam/Kalimat dalam Bahasa Arab

Jika kita lihat dari definisi kalam harus memenuhi 4 syarat kalam, yakni lafadz (suara/ucapan), murakkab (tersusun), mufid (memahamkan), dan bil wadl'i (berbahasa Arab), contoh di atas sudah sangat bisa dikatakan sebagai kalam.

Pengertian Jumlah dalam Bahasa Arab

Dalam bahasa Indonesia, pengertian jumlah adalah susunan kalimat yang minimal terdiri dari dua kata atau lebih. Definisi ini tidak jauh berbeda dengan jumlah dalam bahasa Arab.

الجُمْلَةُ أَقْصَرُ صُوْرَةٍ مَنَ الكَلَامِ تَدُلُّ عَلَى مَعْنًى مُسْتَقِلٍّ بِنَفْسِهِ وَتَشْتَمِلُ عَلَى مُسْنَدٍ وَمُسْنَدٍ اِلَيْهِ

Pengertian jumlah dalam ilmu Nahwu adalah paling ringkasnya bentuk dari kalam yang menunjukkan atas makna yang mandiri dan memuat unsur musnad / predikat (P) dan musnad ilaih / subyek (S).

وَهِيَ فِى العَرَبِيَّةِ نَوْعَانِ جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ وَاسْمِيَّةٌ

Baca juga : Pengertian dan Pembagian Jumlah Mufidah dalam Bahasa Arab

Jumlah dalam bahasa Arab ada dua macam, yaitu jumlah fi'liyah dan jumlah ismiyah.

Contoh jumlah fi'liyah:

تَعَلَّمْتُ اللُّغَةَ العَرَبِيَّةَ مُنْذُ ثَلَاثَةِ اَعْوَامٍ قَدِيْمَةٍ (Saya belajar bahasa Arab sejak tiga tahun yang lalu).

Contoh jumlah ismiyah:

المَعْهَدُ بِيْعَةٌ تَرْبَوِيَّةٌ إِسْلَامِيَّةٌ فَطُوبَى لِمَنْ دَرَسَ فِيْهِ (Pesantren adalah lingkungan pendidikan yang Islami, maka beruntunglah yang belajar di sana).

Perbedaan Kalam dan Jumlah dalam Ilmu Nahwu

Pada pembahasan di atas telah dijelaskan mengenai pengertian kalam dan jumlah. Lalu, apa perbedaan kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu itu ?.

Perbedaan kalam dan jumlah adalah dari segi berfaedah atau tidaknya, dapat memberi kepahaman kepada lawan bicara atau tidaknya. Syaikh Yusuf bin Abdul Qadir al-Barnawi dalam "Qowaidul I'robi" berkata:

وَسَمِّ بِالكَلَامِ وَالجُمْلَةِ مَا | أَفَادَ وَالثَّانِي أَعَمُّ فَاعْلَمَ

"Namailah pada susunan yang berfaidah dengan kalam dan jumlah, dan ketahuilah bahwa yang kedua (jumlah) itu lebih umum".

Salah satu syarat kalam adalah mufid (berfaedah), sebagaimana dijelaskan pada bab di atas. Alhasil, jika ada lafadz yang tersusun, berbahasa Arab namun tidak dapat memberikan faedah maka tidak bisa disebut sebagai kalam.

Berbeda lagi dengan jumlah, baik itu berfaedah maupun tidak, asalkan ia tersusun maka sudah bisa kita sebut sebagai jumlah.

Contoh: إِنْ لَمْ تَفْهَمْ فَإِذَنْ لِمَاذَا لَاتَسْأَلُ ؟ (Jika belum paham, lalu kenapa kamu tidak bertanya ?).

Pada contoh ini, dapat kita sebut sebagai jumlah sekaligus kalam, sebab ia telah tersusun dan memahamkan (mufid). Lain halnya dengan ucapan:

إِنْ لَمْ تَفْهَمْ ٠٠٠

Ucapan إِنْ لَمْ تَفْهَمْ ٠٠٠ sudah bisa kita sebut sebagai jumlah. Akan tetapi, belum memenuhi syarat sebagai kalam, karena lafadz  إِنْ لَمْ تَفْهَمْ ٠٠٠ merupakan syarat yang membutuhkan jawab, sehingga orang yang mendengar akan diam (paham).

Jumlah itu bersifat umum daripada kalam, isyarah bait (وَالثَّانِي أَعَمُّ فَاعْلَمَ). Oleh karena itu, setiap kalam tentu dapat kita sebut sebagai jumlah, namun setiap jumlah belum tentu dapat kita sebut sebagai kalam, karena jumlah itu belum tentu mufid (berfaedah).

Demikianlah perbedaan kalam dan jumlah dalam ilmu Nahwu. Jika artikel ini bermanfaat, silakan share ke banyak media guna menjangkau kebermanfaatan yang lebih luas lagi. Kurang lebihnya mohon maaf dan terima kasih atas kunjungannya.

youtube image
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar