Skip to main content

Paradigma PMII: Kerangka Berpikir PMII dari Masa ke Masa

Daftar Isi [ Tampil ]
Paradigma pmii
Paradigma PMII sebagai suatu cara pandang yang dipakai oleh tiap kader PMII dalam berdiaspora dengan realitas sosial masyarakat dan peradabannya. Dalam sejarahnya, paradigma PMII pertama kalinya dipakai ialah paradigma arus balik masyarakat pinggiran di periode kepimpinan Ketua Umum PB sahabat Muhaimin Iskandar tahun 1997, dan menjadi awal tonggak cara pandang PMII yang selanjutnya diikuti paradigma kritis transformatif dan paradigma menggiring arus berbasis realitas. Pergantian paradigma ini jelas dibutuhkan untuk menjawab perkembangan zaman sesuai konteks ruang dan waktu.

Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran

PMII mulai mengatur arah gerakan secara teoritis, struktural dan sistematis sejak periode pengurusan sahabat Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PB PMII (1994-1997). Paradigma ini ada karena restrukturisasi yang dilakukan orde baru sudah menciptakan pola politik baru, yang mana kebanyakan tidak berbeda jauh dengan beberapa negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di sejumlah negara Amerika Latin dan Asia.

Bagian terpenting dari paradigma PMII ini ialah rekayasa sosial, yaitu dengan beragam advokasi, selanjutnya memobilisasi massa untuk menciptakan suatu pergerakan yang diawali dari paling bawah lalu dikerucutkan ke atas untuk mengambil puncak kekuasaan negara di jaman orde baru, yang pada waktu itu dipegang oleh Presiden ke dua RI Soeharto.

Baca juga: Sejarah Lahirnya PMII

Paradigma PMII Kritis Transformatif

Pada masa (1997-2000) sahabat Saiful Bahri Anshari sebagai ketua umum PB PMII kesepuluh, mengenalkan sebuah paradigma PMII baru yang menggantikan paradigma arus balik masyarakat pinggiran, yakni Paradigma Kritis Transformatif. Beberapa prinsip dasar paradigma ini pada hakekatnya hampir sama dengan paradigma arus balik. Hanya saja lebih menitik beratkan pada teori-teori kritis cendekiawan muslim dan dikombinasikan dengan pemikiran Filosofis Madzab Frankfurt.

Beberapa argumen yang mencakup lahirnya paradigma kritis transformatif ialah : Terbelenggunya masyarakat Indonesia dengan budaya kapitalisme yang condong menghancurkan tatanan nilai kultural, perbuatan pemerintahan yang condong represif dan otoriter dengan skema hegemonik dan kuatnya belenggu dogmatisme agama, yang akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan juga sering agama justru menjadi penghambat untuk perkembangan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.

Paradigma PMII ktitis transformatif berjalan ketika KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur dipilih sebagai presiden keempat RI (1999). Para aktivis PMII dan aktivis civil society mengalami kebingungan saat Gus Dur sebagai figur dan lambang perjuangan civil society Indonesia naik ke puncak kekuasaan.

Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan, antara mendampingi Gus Dur dari lajur ekstra-parlementer, atau berlaku sama dengan presiden-presiden awalnya. Mendampingi atau memberikan dukungan dilandasi pada realita bahwa masih ada banyak beberapa unsur atau beberapa tokoh dari orde baru yang memusuhi presiden keempat ini. Di masa pengurusan Nusron Wahid (2000-2002) Ketua umum PB PMII kesebelas secara tegas terbuka mengambil tempat memberikan dukungan demokrasi dan reformasi yang stabil digerakkan oleh Presiden ke-4 RI. Tetapi pada akhirannya Gus Dur dilengserkan oleh sisa-sisa orde baru.

Baca juga: Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII

Paradigma Menggiring Arus Berbasis Realitas

Ketua umum PB PMII ke-13 (2006-2008), sahabat Heri Harianto Azumi, membuat suatu gebrakan baru, yakni paradigma menggiring arus berbasis realitas, pola ini masih kental dengan nuansa perlawanan frontal, baik pada negara atau pada kemampuan kapitalis internasional. Hingga ruang taktis-strategis dalam kerangka harapan pergerakan yang berorientasikan jangka panjang malah tidak mendapat tempat.

Pada zaman ini para kader PMII masih gampang terjerat dalam masalah temporal-spasial, sehingga perubahan internasional yang paling punya pengaruh pada arah perubahan Indonesia sendiri susah dibaca. Dengan energi yang belum seberapa, aktivis PMII kerap terlarut dalam angan-angan membendung dominasi negara dan ekspansi Neoliberal sekarang ini juga.

Periode ini ialah periode di mana PMII sedikit susah juga dalam memastikan arah, apa lagi pada zaman ini yang kita lewati adalah perkembangan Globalisasi dan Tehnologi yang sudah membuat pergerakan Neoliberalisme lumayan besar, PMII mesti dapat memahami ini, kalau negara sekarang sedang pada kondisi yang cukup mencemaskan.

Paradigma Produktif Sebagai Modal PMII

M. Abdullah Syukri Ketua Umum PB PMII (2021-2023) ketika memberikan sambutan hangat pada Harlah PMII ke-61 menyampaikan bahwa beliau sedang menyusun sebuah paradigma baru sebagai bagian dari paradigma PMII kritis transformatif yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, yaitu paradigma produktif.

Beliau memandang bahwa diskursus paradigmatik mengalami kebuntuan mengingat beberapa tahun belakangan PMII kerap gugup dalam menghadapi revolusi industri 4.0, kemajuan daerah perkotaan, kaum kelas ekonomi menengah, dsb.

Pada dasarnya, paradigma produktif ini merupakan implementasi salah satu jargon PMII, yakni amal shaleh. Hal ini dibutuhkan mengingat diskusi di berbagai tingkatan selama berjam-jam tidak melahirkan sebuah produk atau karya baru. Padahal, di zaman sekarang ini, satu orang dianggap keberadaannya karena mempunyai beberapa karya yang memiliki ciri-ciri unik dan tidak sama dari lainnya.

Di akhir sambutan, M. Abdullah Syukri meminta supaya sahabat-sahabati baik dari tingkat rayon, komisariat, hingga cabang mengkritisi dan mengembangkan kerangka paradigmatik tersebut.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar