Skip to main content

ke-PMII-an | Aswaja sebagai Landasan Teologis dan Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII

Daftar Isi [ Tampil ]
Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII
Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII - Aswaja sebagai bagian integral dari mekanisme keorganisasian di PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebut bahwa Aswaja merupakan model pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, diakui atau tidak Aswaja sebagai sisi kehidupan sehari-hari anggota atau kader PMII. Akarnya tertanam dalam pada pengetahuan dan sikap penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.

Paham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)

PMII merupakan komunitas atau organisasi mahasiswa yang berbasiskan keagamaan di mana sebagian besar kadernya adalah mahasiswa Islam. Sebagai organisasi yang memiliki jalinan pada keislaman, jadi dibutuhkan sebuah dasar teologis berbentuk nilai-nilai, cita-cita, tradisi, ideologi dan akidah Islam. Hal tersebut benar-benar dibutuhkan untuk dijadikan sebagai fondasi dan pijakan pokok dalam tiap pemikiran dan tindakannya.

Corak pemikiran dan pergerakan PMII tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran PMII, di mana NU sebagai cikal-bakal lahirnya PMII adalah satu faktor penting dalam menentukan dasar teologis organisasi ini. Oleh sebab itu, dasar teologis PMII dapat disebutkan mempunyai kecocokan yang lumayan besar dengan tradisi NU, baik pemikiran, nilai-nilai, etika, ideologi, akidah dan tindakannya. PMII dan NU bagaikan dua sisi mata uang, di mana satu dengan yang lain tidak dapat terpisahkan.

Sedangkan NU sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan masyarakat telah lama mempraktikkan pemahaman keagamaan dengan corak Ahlussunnah wal Jama'ah. Ditambah lagi kultur edukasi dan pendidikan pesantren yang mengutamakan pada kepenguasaan khazanah keilmuan baik dalam pendekatan fikih ataupun tasawuf. Pastinya untuk warga PMII dibutuhkan pengetahuan yang masak ihwal Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) dalam semua perspektifnya. Baik dalam terminologis, latar historis, ideologi, pemikiran dan konsep yang dibuat untuk memahami Islam.

Secara bahasa, "al-Sunnah" bermakna cara, rutinitas, perjalanan hidup, atau sikap, baik yang terpuji atau yang nista. Dalam terminologi syari'ah "al-Sunnah" bermakna segala sesuatu dari Nabi Muhammad SAW baik perkataan, tindakan, sifat, ketetapan baik saat sebelum atau setelah menjadi Rosul. Di samping itu "al-Sunnah" menjadi lawan kata dari bid'ah. Konteksnya yaitu di saat muncul perpecahan di kalangan umat Islam, tersebar bermacam bid'ah, di sinilah Ahlussunnah dipakai sebagai pembeda dengan ahlul bid'ah.

Adapun kata "al-Jama'ah" berasal dari kata "al-Ijtima'" yang bermakna kumpul atau bersatu. Al-Jama'ah bersimpangan dengan kata "al-Firqoh" yang berarti berpecah belah. Apabila kedua kata ini dikombinasi "Ahlussunnah wal Jama'ah", maka yang dimaksud yaitu para perintis umat Islam. Mereka adalah para sahabat dan tabi'in yang berpadu mengikuti kebenaran yang pasti dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apa yang dikerjakan Rosul, Sahabat, Tabi'in, dan tiap orang yang hadir setelah mereka dengan meniti jalan dan mengikuti tapak jejak mereka, maka terhitung ke dalam barisan Ahlussunnah wal Jama'ah.

Sejarah lahirnya Aswaja tidak terlepas dari timbulnya bermacam aliran dan kelompok dalam Islam. Diawali semenjak terjadinya  perang Shiffin yang mengikutsertakan Ali dengan Muawiyah, berbarengan dengan kekalahan Ali sesudah dikelabuhi lewat strategi arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyaah, mulailah umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan.

Ada yang memberikan dukungan kepada Ali (Syiah), menuduh Ali dan Muawiyah sama-sama kafir (Khawarij) lantaran arbitrase itu dipandang keluar dari hukum Islam, dan ada pula yang menyerahkan permasalahan kafir atau mukmin itu kepada Allah SWT (Murjiah). Kemudian timbulah bermacam kelompok seperti Jabariyah, Qodariyah, Muktazilah dan lain-lain. Dari situlah pertentangan mengenai pemahaman teologis keislaman muncul bahkan juga saling berlawanan antar golongan. Ahlusunnah wal Jama'ah (Sunni) lahir sebagai tanggapan terhadap bermacam aliran tersebut.

Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai salah satunya aliran di dalam teologi pemikiran Islam yang berdasarkan konses-konsep al-Asy'ari dan al-Maturidi. Pemikiran kedua figur inilah yang dipandang paling berjasa dalam menghempas teori-teori Muktazilah dan bermacam jenis kelompok yang muncul saat itu untuk membangun kembali ajaran ortodoks (berpegang teguh pada tuntunan Rosul) dan semenjak saat itu menjadi peninggalan pemikiran Sunni. Bukan hanya itu, pertimbangan teologi skolastik yang fondasinya dibuat oleh kedua imam ini juga jadi corak pemikiran Islam yang paling sering dipakai muslim dunia sampai sekarang ini.

Dalam aspek historis, sebenarnya paham Aswaja dalam bidang akidah sudah ada semenjak masa sahabat Nabi. Misalkan pemikiran akidah Ali bin Abi Thalib yang melawan opini Khawarij mengenai al-wa'd wa al-wa'id dan opini Qodariyah mengenai kehendak Allah dan daya manusia. Begitupun pada masa Tabi'in, pemikiran Aswaja telah ada, seperti Umar bin Abdul Aziz yang menulis paham-paham Aswaja dalam karyanya "Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah".

Beberapa mujtahid fikih menulis sejumlah karya mengenai paham Aswaja seperti Abu Hanifah yang menulis kitabnya "Al-Fiqh al-Akbar", Imam Syafi'i dengan kitabnya "Fi Tashih al-Nubuwwah wa al Radd ‘ala al-Barahimah". Baru selanjutnya generasi imam dalam teologi Aswaja setelah itu diwakili dan dirumuskan secara struktural oleh Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansyur al-Maturidi.

Ada banyak Hadits yang bisa dijadikan asas mengenai paham Aswaja sebagai paham yang dapat menyelamatkan umat dari kesesatan, salah satunya yaitu:

افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما انا عليه اليوم و أصحابه 

Artinya: "0rang-orang Yahudi terpecah atas 71 / 72 golongan, orang Nasrani terpecah atas 71 / 72 golongan, dan umatku (kaum muslim) akan terpecah atas 73 golongan. Yang selamat dari padanya adalah satu golongan saja dan lainnya celaka. Ditanyakan 'Siapakah yang selamat itu?' Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama'ah'. Dan ditanyakan kembali, ‘apa Ahlussunnah wal jama'ah itu ya Rasul?' Rasulullah SAW menjawab, ‘Apa yang aku, para sahabatku berada di atasnya".

Baca juga: Paradigma PMII dari Masa ke Masa

Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII

Dalam diskursus wacana keislaman, ada dua pendapat dalam memahami Ahlussunah wal Jama'ah.

Pertama, Aswaja dipahami sebagai sebuah mazhab yang telah baku dan transenden. Sikap ini telah lama sekali berkembang dalam pemikiran keagamaan Islam di Indonesia.

Perihal ini tercermin pada pengimplementasian tuntunan Islam seperti disebutkan Imam Ibnu Hajar al-Haytami kalau paham Aswaja dalam hal tauhid (teologi) didasarkan pada pertimbangan Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi, dalam berfikih (Syar'i) didasarkan pada konsep-konsep imam empat mazhab yaitu Syafi'i, Hanafi, Hanbali dan Maliki, dan dalam soal Akhlaq (tasawwuf) didasarkan pada norma adab seperti dirumuskan Imam al Ghazali dan Imam Abul Qosim al-Junaidi dan ulama-ulama lain yang sepaham.

Kedua, Aswaja dipahami sebagai metodologi (manhaj) berpikir. Prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr lebih adaptive dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pandangan ini diperkenalkan oleh para ulama NU seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siraj, dan beberapa tokoh NU lainnya.

Dalam sudut pandang ini Aswaja dijadikan sebagai cara berpikir keagamaan yang meliputi semua aspek kehidupan dengan berdasarkan pada dasar moderasi, keselarasan dan tolerir. Aswaja dipandang bukan hanya sebagai sebuah mazhab, tetapi sebuah metode dan konsep berpikir dalam menghadapi beberapa persoalan agama sekaligus masalah sosial kemasyarakatan. Manhaj al-Fikr tersebut berdasar pada prinsip-prinsip tawasut (moderat), tawazun (netral), ta'adul (keseimbangan) dan tasamuh (tolerir).

Pada kondisi sekarang ini, Aswaja bukan hanya diartikan sebagai tuntunan teologis semata, lantaran masalah yang ditemui oleh umat modern ini tidak segampang masa Islam sebelumnya. Hingga Aswaja bisa ditransformasikan ke aspek ekonomi, politik dan sosial. Pemaknaan semacam ini berangkat dari kesadaran akan komplikasi permasalahan sekarang ini yang bukan hanya memerlukan jalan keluar bersifat aktual, namun lebih dari jalan keluar yang sifatnya metodologis, sehingga inilah background munculnya term Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr (metode berpikir).

Prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr wa al-Harakah

Ada 4 prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr wa al-Harakah, yaitu:

  1. Tawasuth
  2. Tawazun
  3. Tasamuh
  4. I'tidal

Pertama, Tawasuth (pertengahan / jalan tengah), prinsip ini mengutamakan utamanya berada pada posisi tengah, tidak cenderung ke kanan, juga tidak cenderung ke kiri, hingga corak pengetahuannya selalu tampil pada lajur tengah dalam menjawab tantangan umat.

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 143 :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: "Dan demikian (pula) Kami sudah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan opsi supaya kamu jadi saksi atas (tindakan) manusia dan supaya Rasul (Muhammad) jadi saksi atas (tindakan) kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 143).

Kedua, Tawazun (seimbang), yaitu sebuah prinsip istiqamah dalam membawa nilai-nilai Aswaja tanpa interferensi kemampuan mana saja. Sebuah sudut pandang yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan).

Kata tawazun diambil dari kata al-waznu atau al-mizan yang berarti alat penimbang, diambil dari ayat:

لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ ࣖ

Artinya: "Sesungguhnya Kami sudah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang riil dan sudah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) agar manusia bisa menjalankan keadilan." (Q.S. Al-Hadid: 25).

Ketiga, Tasamuh (toleran), yaitu sebuah prinsip transparansi dalam menerima ketidaksamaan. Sikap toleransi ini yakni melepaskan dan membebaskan diri atau kelompok dari sifat egoistik dan sentimen individu atau golongan.

Keempat, I'tidal yang (tegak lurus), tidak cenderung ke kanan-kanan atau ke kiri-kirian, diambil dari kata al-'adlu, yang artinya adil atau I'dilu yang berarti melakukan perbuatan adil, yang terdapat dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman sebaiknya kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, jadi saksi dengan adil, dan jangan sampai sesekali kebencianmu pada suatu golongan, menggerakkan kamu untuk Bertindak tidak adil. Berlaku adillah, sebab adil itu lebih dekat pada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan. (Q.S. Al-Maidah: 8).

I'tidal sebagai satu prinsip adanya proporsionalitas dalam mengejawentahkan pemikiran atau perbuatan. Dengan begitu semua wujud sikap selalu memprioritaskan kemaslahatan dengan visi keadilan bersama.

Tawasuth, i'tidal, tawazun dan Tasamuh di atas tidaklah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua elemen (sinkretisme). bukan mengucilkan diri dan menampik pertemuan dengan elemen apa-apa. Sifat tawasuth dalam Islam adalah karena memang telah mula-mula Allah menempatkan dalam Islam semua kebaikan, dan semua kebaikan itu tentu ada di antara dua ujung tatharuf, sifat mengujung, ekstrimisme.

Empat prinsip Aswaja sebagai kerangka berpikir ini adalah jalan keluar nyata untuk menjawab bermacam masalah masa yang sangat kompleks ini. Dengan kerangka berpikir semacam ini maka problem-problem yang berkembang saat ini memungkinkan mendapatkan jalan keluar. Empat prinsip itu sama sekali tidak berlawanan dengan tuntunan Nabi, malah merupakan prinsip-prinsip dasar universalitas tuntunan Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin.

Implementasi Manhaj al-Fikr wa al-Harakah PMII

Dari apa yang sudah dijelaskan di atas, PMII sudah mengimplementasikan landasan teologis dan Manhaj al-Fikr wa al-Harakah Aswaja ke dalam pemikiran dan pergerakannya. Dalam konteks keislaman, PMII selalu menghindari lambang dan formal keislaman ke dalam kehidupan riil ataupun struktur kekuasaan negara sebagaimana yang dilaksanakan oleh golongan Islam Puritan. Golongan puritan yang dimaksud yakni golongan yang memakai simbol-simbol keislaman sebagai senjata untuk menantang Barat dan golongan di luar Islam. Seperti ISIS, Hizbut Tahrir, ANNAS, dan golongan Islam takfiri lainnya.

PMII nyaris tak pernah menggunakan slogan Ijtihad dan kembali ke al-Quran dan Hadits. Sebagaimana yang kerap dikatakan para ustadz industri media tv atau kelompok pemurnian keagamaan Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Rida dan lain-lain. Begitu pun kalangan PMII, tetap memiliki ikatan dengan adat yang terus menerus dilestarikan NU. Namun di saat yang serupa, pengetahuan keagamaan yang berkembang dalam PMII malah melebihi batasan-batasan  pengetahuan pesantren. Masalah ini lantaran basis warga PMII ialah mahasiswa, yang mana studi-studi di universitas dituntut untuk lebih aktif berkembang sesuai kondisi keadaan penduduk yang berkembang.

Kedinamisan pemikiran PMII itu, sampai juga pada corak pengetahuan liberal dan makin tumbuh subur pengkajian-pengkajian mengenai pemikiran Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiri, Mahmud Muhammad Thoha, Abdullah Ahmed an Na'im dan Nashr Hamid Abu Zayd. Semua pemikiran tokoh-tokoh di atas menjadi landasan keislaman sekalian menjadi bentuk pendekatan yang tidak wajar dipakai oleh beberapa Ulama NU.

Sementara dalam konteks Islam dan Negara, PMII mengambil sikap sebagaimana pemikiran Gus Dur. Pemikiran Gus Dur benar-benar mempengaruhi corak berpikir dan tindakan PMII pada pemahaman mengenai Islam dan Negara. Pemikiran itu berwujud pandangan kalau Islam mesti ditempatkan sebagai bagian dan menyatu dengan wawasan berkebangsaan. Dalam hal ini Islam sebagai komplemen bagi kebutuhan yang semakin besar yang bernama bangsa.

Pandangan ini bukan bermakna mengecilkan Islam dan membuat tunduk terhadap kepentingan bangsa yang sekuler, tetapi memberi corak lokal buat pengetahuan keislaman dengan sifat keindonesiaan. Dari itulah slogan Islam Nusantara selalu diamini oleh kalangan PMII lantaran memvisualisasikan identitas dan sifat Islam lokal yaitu pengetahuan keagamaan Islam yang ada di Nusantara.

Dengan begitu, Islam tak perlu disaksikan sebagai instansi yang dipaksakan masuk sebagai konstitusi negara. Kalangan PMII tak pernah ikut-ikutan melakukan pergerakan perjuangan supaya Islam menjadi konstitusi negara. PMII selalu berpijak tegar pada desas-desus pluralisme, toleransi, Hak Asasi Manusia dan demokrasi sebagai prasyarat untuk respons penerimanya pada nalar negara-negara modern.

Baca juga: Tujuan PMII dalam AD/ART PMII Bab 4 Pasal 4

Dalam konteks pergerakan sos-pol, PMII lebih ke pergerakan kultural lewat program penyadaran dan pemberdayaan masyarakat sebagai wujud loyalitas pada demokrasi dan terciptanya masyarakat sipil. PMII tak pernah mengatasnamakan Islam untuk membangun kekuatan dalam perebutan daerah-daerah kekuasaan. Sebagai aksi itu cuma akan membuat Islam sebagai alat kekuasaan. Loyalitas semacam ini diperkokoh dengan sikap tidak setujunya dan perlawanan PMII pada bentuk pergerakan yang dilaksanakan oleh ICMI yang membawa simbol-simbol keislaman pada ranah kekuasaan negara.

Dari itu semua dapat diterangkan kalau komunitas PMII berusaha menjadikan dirinya sentra dan simpul jaringan intelektual serta intern kalangan muda NU. PMII mengemban amanat besar untuk transformasi intelektual dan sosial yang diinginkan terjadi secara bersama-sama namun bertahap dan berkelanjutan.

Sumber:

  • Hifni, Ahmad. 2016. "Menjadi Kader PMII". Tangerang: Moderate Muslim Society (MMS).
  • Machali, Imam dan Achmad Fauzi. 2017. "ke-NU-an (Ahlussunah Waljama’ah An-Nahdliyyah)". Yogyakarta: LPMNU DIY.
  • Q.S. Al-Baqarah: 143, Q.S. Al-Hadid: 25, Q.S. Al-Maidah: 8.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar