Skip to main content

Ten Commandments Filsafat: [10] Sepuluh Perintah dalam Filsafat

Daftar Isi [ Tampil ]
[10] Sepuluh Perintah dalam Filsafat
Berbicara mengenai ten commandments pasti kita akan teringat dengan Nabi Musa dan wahyu yang diberikan Allah kepadanya dalam bentuk sepuluh perintah yang mesti dijalankan. Namun, apa yang akan dibicarakan di sini jelas tidak ada kaitannya dengan ten commandments-nya Nabi Musa tersebut. Hanya saja, sepuluh perintah yang akan disebutkan di bawah ini hendaknya dipelajari dan dipahami terlebih dahulu sebelum kita terjun lebih dalam lagi di dunia filsafat.

Ten commandments filsafat adalah sepuluh perintah dalam dunia filsafat, dikenal juga dengan istilah dasa titah, yaitu sekumpulan perintah atau ajaran yang memegang peranan penting dalam dunia filsafat. Sepuluh perintah ini berisi instruksi yang hendaknya dipahami dan sebisa mungkin untuk dijalankan bagi mereka yang ingin terjun ke dalam dunia filsafat.

Louis Paul Pojman dalam bukunya “Philosophy: The Pursuit of Wisdom” menyebutkan secara bebas ten commandments-nya filsafat (sepuluh perintah dalam filsafat) sebagai berikut:

  1. Ikuti rasa takjub dan ingin tahu dalam dirimu.
  2. Ragukan segala sesuatu yang tidak didukung oleh bukti kuat.
  3. Cintailah kebenaran.
  4. Analisis problem dengan cara mengklasifikasi dan melacak hubungan antar klasifikasi.
  5. Kumpulkan dan susunlah argumen yang kuat.
  6. Buatlah prediksi yang berlawanan dan bikinlah bantahan.
  7. Revisi dan bangun ulang pandanganmu selama ini.
  8. Upayakan sesederhana mungkin dalam menjelaskan.
  9. Hidupkan kebenaran yang sudah kamu temukan.
  10. Hidupkan kebaikan yang sudah kamu temukan.

Banyak orang yang terjun ke dalam dunia filsafat masih bingung dengan apa yang semestinya dilakukan supaya benar-benar menjadi seorang filosof. Karena ketidaktahuan apa yang harus dilakukan, mereka pun kemudian hanya sekedar membaca dan menghafalkan berbagai macam teori dalam buku-buku filsafat. Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau kita sedikit mengulas kesepuluh perintah yang ditawarkan oleh Louis P. Pojman di atas.

1. Ikuti rasa takjub dan ingin tahu dalam dirimu

Pada dasarnya rasa takjub dan ingin tahu merupakan nyawa bagi keberlangsungan filsafat. Ketika seorang filosof sudah tidak mudah lagi takjub, tidak lagi bertanya dan mempertanyakan dapat dipastikan ia sudah pensiun dari filsafat dan tertinggal di belakang. Karena dunia filsafat tidak pernah berhenti berjalan dan bertanya.

Jangan ragu untuk bertanya, menanyakan apa pun yang tampak di hadapan kita. Dalam dunia yang selama ini kita pandang normal, sebenarnya terdapat banyak hal yang layak dipertanyakan. Apakah menurut kita makan tiga kali sehari sudah tepat? Kalau iya, mengapa? Kalau tidak, mengapa kita makan tiga kali sehari?. Mengapa kita memilih partai A, bukan partai B, padahal keduanya satu golongan dengan kita? Mengapa kita tidak mau menerima suap? Namun menerima uang ucapan terima kasih?.

Teruslah bertanya, bahkan sampai sesekali mungkin kita juga butuh heran dan bertanya; mengapa aku mempertanyakan pertanyaan tersebut?. Jangan takut dianggap gila karena bertanya, jangan khawatir dianggap kurang kerjaan, karena sebenarnya kita sedang mengawali langkah menuju kesadaran diri kita sendiri.

Bertanya merupakan langkah pertama, selanjutnya adalah mencari jawaban melalui cara apa pun yang hendak kita tempuh. Bisa dengan cara refleksi diri atau belajar dari pengalaman, bisa juga belajar dari karya-karya tokoh terkenal. Namun, yang jelas, cara apa pun yang kita pilih nanti, jangan lupakan perintah kedua.

2. Ragukan segala sesuatu yang tidak didukung oleh bukti kuat

Sudah selayaknya kita tidak mudah percaya dengan sesuatu sebelum didasari atas bukti yang kuat. Hindari putusan dan penetapan dalam kondisi ketidakjelasan. Dalam filsafat, kita dituntut untuk tidak terburu-buru mempercayai, apalagi karena hal tersebut dipercayai oleh banyak orang. Kita harus mampu mencari kebenaran dan ketetapan hal-hal yang ingin kita percayai sebagai sesuatu yang benar. Kita mesti membuktikan bahwa kita tidak salah mempercayai atau tidak mempercayai. Bahkan, kalau bisa kita tunjukkan juga kepada orang lain bahwa apa yang mereka percayai atau tidak mereka percayai itu salah atau benar.

Untuk mencari kebenaran tersebut, kita bisa melakukan refleksi sendiri, tentunya dengan menggunakan nalar yang tepat. Bisa juga belajar dari pengalaman atau mempelajari refleksi dari tokoh-tokoh terdahulu tentang hal yang sama.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang selamanya benar, oleh karena itu kita perlu kritis dan tidak mudah percaya. Carilah bukti-bukti sebelum mempercayai, karena hanya dengan bukti dan memiliki argumen yang cukup kita akan mantap dalam memutuskan.

3. Cintailah kebenaran

Perintah ketiga ini lebih mirip dengan semboyan atau jargon. Berdasarkan pada semboyan ini, kita dituntut mendedikasikan seluruh upaya dan eksplorasi intelektual untuk kebenaran.

Kata “cinta” dalam frasa “cintailah kebenaran” mengisyaratkan sebuah kecenderungan hati tanpa pamrih, tanpa embel-embel apa pun. Cinta tidak memiliki syarat, karena cinta bukan jual-beli. Ketika seseorang mencintai – cinta sebenarnya, bukan karena dorongan nafsu keinginan, kebutuhan libido (nafsu birahi), atau kepentingan tertentu, bisa dipastikan apa pun yang ia lakukan dan pikirkan hanya untuk yang dicintai. Dia rela melakukan apa pun, meski harus mengorbankan banyak hal yang menyenangkan dalam hidupnya.

Demikian juga kalau kita memutuskan untuk cinta kebenaran, ia akan menjadi nilai tertinggi dalam kehidupan kita. Demi kebenaran kita rela melakukan dan mengorbankan apa pun. Sesuatu yang tidak berada dalam wilayah kebenaran akan bernilai rendah bagi kita. Jangan takut risiko, karena dalam cinta hal yang paling membahagiakan adalah saat kita berjuang melakukan sesuatu demi apa yang kita cintai.

4. Analisis problem dengan cara mengklasifikasi dan melacak hubungan antar klasifikasi

Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya. Dalam bahasa yang lebih ilmiah, analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

Perintah keempat ini sebenarnya sudah sangat operasional. Perintah tersebut berhubungan dengan problematik cara kita sebagai seorang filosof dalam menganalisis persoalan dan menjawab pertanyaan.

Misalkan, kita sedang dihadapkan dengan pertanyaan; apakah yang dimaksud universitas itu? Langkah pertama yang harus kita lakukan yaitu melihat terlebih dahulu ada unsur apa saja dalam universitas itu, dan membuat klasifikasi. Misal, di universitas ada rektor, dekan, wakil dekan, dosen, mahasiswa, pegawai, gedung, ruang kelas, dsb. Kemudian kita membuat klasifikasi, misal dari unit-unit tersebut bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pelaksana dan sarana.

Dari berbagai klasifikasi yang sudah kita buat tadi, selanjutnya tentukanlah apa korelasi antara dosen dan mahasiswa, pejabat dan pegawai, dst. Berdasarkan klasifikasi dan korelasi yang tersebut, sekarang waktunya kita memutuskan jawaban. Jadi, apa yang dimaksud universitas itu?.

5. Kumpulkan dan susunlah argumen yang kuat

Perintah kelima ini sebenarnya tidak perlu dijelaskan panjang lebar, karena memang begitulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang filosof. Sebagai seorang filosof, tidak selayaknya melakukan sesuatu atau melahirkan ide-ide tanpa didasari argumen yang jelas. Semuanya harus memiliki dasar dan bukti atau argumen yang memadai.

Dalam segala yang kita lakukan dan pikirkan, tentunya kita mengharap apa yang kita lakukan dan pikirkan itu memiliki nilai berharga dan bermakna. Tindakan atau pemikiran yang benar dan tepat sekalipun tanpa diketahui alasannya, “mengapa dan untuk apa” pemikiran atau tindakan itu dilakukan, tetap saja disebut tidak bernilai dan bermakna.

6. Buatlah prediksi yang berlawanan dan bikinlah bantahan

Perintah keenam ini mungkin terdengar agak aneh bagi sebagian orang, namun sebenarnya biasa saja. Perintah tersebut memiliki korelasi juga dengan bagaimana kita harus berefleksi dengan benar agar tidak terjebak dalam kesia-siaan karena sifat apologi atau melakukan sesuatu yang dianggap sudah tepat, padahal sebenarnya belum. Perintah ini pada intinya adalah agar kita tidak segan-segan mencari counter example, yaitu contoh-contoh kasus atau sesuatu yang posisinya berseberangan dengan pandangan atau pendirian kita selama ini.

Ketika kita meyakini sesuatu, sudah memiliki bukti atau bukti yang kuat, sudah menyusun argumen dan memiliki dasar yang layak, ada suatu hal lagi yang perlu kita lakukan, yaitu berusaha mencari pandangan lain yang berlawanan dengan kita, lalu menilai pandangan tersebut bersama-sama dengan pandangan kita semula.

7. Revisi dan bangun ulang pandanganmu selama ini

Perintah ketujuh mengisyaratkan kepada kita untuk selalu terbuka, terbuka untuk merevisi pandangan dan memperbaiki diri secara kontinu. Karena berbagai pandangan apa pun dalam titik dan saat tertentu bisa saja kehilangan nilai ketepatan atau kebenarannya, apabila tidak bersedia direvisi ulang secara kontinu.

Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok harus lebih baik lagi dari hari ini. Kiranya ungkapan tersebut layak kita jadikan sebagai semboyan hidup supaya tidak terjebak dalam kejumudan.

8. Upayakan sesederhana mungkin dalam menjelaskan

Perintah kedelapan ini seakan-akan menjadi sindiran keras bagi kita. Ada baiknya bagi kita yang bermaksud menyampaikan ide-ide untuk mencari cara menjelaskan dan mengungkapkan dengan lebih sederhana, ringkas, dan mudah dipahami. Hindari pemakaian istilah yang membingungkan kalau ada padanan kata yang lebih umum. Perhatikan gaya tutur dan bahasa yang umum dipakai banyak orang. Ikutilah kaidah-kaidah tersebut untuk lebih memudahkan orang memahami ide-ide yang kita sampaikan.

Kebenaran memang tidak selalu sederhana dan mudah untuk dijelaskan dengan penyampaian sederhana. Namun, kita dianjurkan agar selalu mencoba memilih penjelasan yang lebih ringkas dan mengena.

9. Hidupkan kebenaran yang sudah kamu temukan

Perintah kesembilan ini kiranya lebih bernuansa sebagai anjuran agar terjadi konsistensi antara ide dan pandangan kefilsafatan kita dengan kehidupan nyata. Pikiran-pikiran dan ide yang kita publikasikan akan segera mendapat ketidakpercayaan orang ketika bertentangan atau tidak relevan dengan kehidupan kita sendiri. Ringkasnya, ide-ide tersebut tidak dihayati, hanya dimengerti.

Perintah tersebut pada dasarnya juga merupakan tuntunan agar sejauh apa pun refleksi kefilsafatan yang kita lakukan, jangan sampai meninggalkan realitas nyata kehidupan. Memang jelas, bahwa wilayah kerja seorang filosof itu lebih banyak berada dalam abstraksi intelegensi manusia. Namun, bukan berarti bahwa realitas kehidupan harus ditinggalkan.

10. Hidupkan kebaikan yang sudah kamu temukan

Perintah ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari perintah kesembilan, meskipun dengan tekanan yang agak berbeda. Dalam perintah kesembilan, kita dituntut untuk menerjemahkan kebenaran yang kita dapatkan dalam kehidupan nyata agar lebih bernuansa “benar-salah”. Sementara itu, dalam perintah kesepuluh kita lebih dituntut untuk merefleksikan ide-ide yang sifatnya moral dalam kehidupan nyata menjadi lebih bernuansa “baik-buruk”.

Berdasarkan perintah kesembilan, kita dituntut untuk bertindak dengan benar,. Sedangkan dalam perintah kesepuluh kita dituntut untuk bertindak dengan baik, yang dalam satu disiplin ilmu disebut etika.

Kesimpulan

Menarik memang untuk melihat ten commandments (sepuluh perintah) tersebut secara utuh. Karena ternyata seorang filosof yang benar adalah bukan mereka yang sekedar pandai dalam berefleksi dan mendayagunakan intelegensi. Namun, filosof sejati pada dasarnya adalah mereka yang dalam kehidupan nyatanya mencerminkan ide-ide besar, benar dan baik sesuai dengan pemikiran yang diproduksi.

Rujukan: Fahruddin Faiz. “Sebelum Berfilsafat”. MJS Press.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar