Skip to main content

Pengertian Tasawuf Menurut para Ahli

Daftar Isi [ Tampil ]
Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata “tashowwafa – yatashowwafu - tashowwuf” mengandung makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba atau wol (suf),  walaupun pada praktiknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol.

Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah ash-hab al-Shuffah, yaitu para Sahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar atau serambi-serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).

Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang menyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT. 

Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli merujuk kepada tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt.

Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan. 

Jika tiga definisi tasawuf di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.

Ibnu Khaldun berkata; banyak sufi berusaha mengungkapkan arti tasawuf dengan kalimat yang general dalam memberikan keterangan maknanya, tetapi tidak satu pun pendapat yang tepat. Di antara mereka ada yang mengungkapkan kondisi-kondisi permulaan, ada yang mengungkapkan kondisi-kondisi akhir, ada yang mengungkapkan sebagai pertanda, ada yang mengungkapkan prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya, ada yang menyatukan prinsip dan dasarnya. Masing-masing dari mereka mengungkapkan apa yang ditemukannya dan masing-masing bicara menurut derajat spiritualnya. Masing-masing menyatakan apa yang terjadi pada dirinya, menurut pencapaiannya dalam bentuk ilmu, atau amal, atau kondisi spiritual, atau dzauq (cita rasa spiritual), atau selainnya.

Di antara definisi yang dihadirkan sebagai contoh dan, bukan untuk pembatasan adalah sebagai berikut:

  • Ma’ruf Al-Kurkhi mengatakan, “Tasawuf adalah mengambil hakikat-hakikat dan tidak tertarik pada apa yang ada ditangan makhluk.”
  • Dzunnun Al-Mishri ditanya mengenai sufi, lalu ia menjawab, “Sufi adalah orang yang tidak letih sebab permintaan dan tidak gelisah sebab dicabut nikmat.” Ia juga mengatakan, “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah di atas setiap sesuatu, sehingga Allah mengutamakan mereka di atas setiap sesuatu.”
  • An-Nawawi mengatakan, "Sifat sufi adalah diam saat tiada dan itsar (mengutamakan orang lain) saat ada." Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah setiap pencapaian jiwa.” Juga, “Tasawuf adalah menebar maqam (derajat spiritual) dan bertautan pada konsistensi.”
  • Samnun ditanya mengenai tasawuf, lalu ia menjawab, “Kau tidak memiliki sesuatu, dan tidak sesuatu pun yang memilikimu.”
  • Ibnul Jala mengatakan, “Tasawuf adalah hakikat yang tidak punya bentuk.”
  • Abu Muhammad Al-Jariri ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab, “Masuk ke dalam setiap etika yang luhur, dan keluar dari setiap etika yang rendah." Ia juga mengatakan, “Tasawuf adalah muraqabah terhadap kondisi-kondisi spiritual dan menetapi adab.”
  • Al-Katani berkata, “Tasawuf adalah kejernihan dan kontemplasi.” Ia juga mengatakan, “Sufis adalah sahaya secara zhahir dan merdeka secara batin.”

Dari uraian di atas, tidak satu definisi sempurna dan komprehensif, yang menawarkan pemikiran sempurna mengenai esensi tasawuf, dan bahwa definisi-definisi ini memiliki kekurangan. Setiap definisi hanya menjelaskan satu aspek atau sifatnya saja.

Oleh karena itu, Abdul Halim Mahmud telah mengutip dari definisi Al-Katani (tasawuf adalah kejernihan dan kontemplasi) dengan argumen bahwa definisi ini telah mencakup dua sisi yang dalam kesatuan yang sempurna membangun definisi tasawuf. Pertama adalah wasilah, yaitu kejernihan; dan yang kedua adalah tujuan, yaitu kontemplasi. Kemudian beliau menyatakan, “Musyahada adalah derajat ma’rifat yang paling tinggi. Jadi, tasawuf adalah ma’rifat-derajat ma’rifat tertinggi setelah kenabian, dan tasawuf adalah jalan menuju musyahadah (kontemplasi).

Rujukan:

  • A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, hlm. 804.
  • Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu’amalatil ‘Allamil Guyub, (ttp.: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah, tt.), hlm. 406
  • Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), hlm.180

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Tutup Komentar